Bunga Trotoar yang Tak
Menjadi Bunga
Setiap yang bernyawa memerlukan usaha untuk dapat mempertahankan
hidupnya. Termasuk manusia, apa saja
akan dilakukan asalkan itu dapat menghasilkan uang. Namun manusia seringkali lupa bahwa kegiatan
itu mereka lakukan di suatu negara yang memiliki hukum di dalamnya. Maka banyak dijumpai beberapa pekerjaan yang
sebenarnya tidak sesuai dengan perundangan yang ditetapkan. Salah satu yang banyak dijumpai di Indonesia
yakni adanya Pedagang Kaki Lima (PKL), yang menjalankan usaha di bahu jalan
atau trotoar.
Kabupaten
Jember merupakan salah satu region di Indonesia dengan perkembangan jumlah PKL
yang pesat. Seperti yang nampak di
sepanjang trotoar Jalan Jawa, jajaran PKL seperti tak ada putusnya. Meskipun pelanggan, yang kebanyakan adalah
mahasiswa, juga mengonsumsi produk dari para PKL tersebut namun mereka tetap merasa
bahwa kehadiran PKL bertentangan dengan ketertiban. Keberadaan PKL dipandang merusak keindahan
kota serta menimbulkan gangguan lain seperti kebersihan lingkungan, kelancaran
lalu lintas dan kenyamanan pejalan kaki. Menyikapi hal tersebut, maka
Pemerintah Daerah Kabupaten Jember mengeluarkan peraturan daerah Nomor 6
Tahun 2008 tentang Pedagang Kaki
Lima. Dalam peraturan tersebut disebutkan bahwa setiap PKL yang melakukan kegiatan usaha wajib memiliki izin lokasi, memperhatikan ketertiban,
keamanan, kenyamanan dan kebersihan
di lingkungan sekitarnya.
Keberadaan PKL di Jalan Jawa sudah tak terelakkan lagi
perkembangannya. Seperti efek domino
yang ketika satu domino rubuh maka akan merubuhkan domino lainnya, PKL juga demikan. Melihat satu PKL membuka lapak di satu bagian
trotoar Jalan Jawa, akan mendorong calon PKL lain untuk mengadu nasib di tempat
tersebut. Sebagai lokasi yang berada
wilayah kampus, Jalan Jawa dipandang sangat potensial untuk membuka usaha,
terutama usaha kuliner. Letaknya yang
berada di luar gerbang selatan Universitas Jember, sangat mudah dijangkau oleh
mahasiswa yang ingin mendapatkan lauk murah nan memenuhi selera.
Tidak ada yang tahu pasti siapa yang mempelopori tumbuhnya PKL di Jalan Jawa. Menurut kesaksian salah seorang PKL, ia sudah
berada disana sejak 14 tahun yang lalu.
Hal ini menunjukkan bahwa keberadaan PKL di Jalan Jawa sudah ada sejak
abad 20. Ibu tiga anak tersebut mengaku
mendapat kesempatan membuka lapak disana karena menggantikan tetangganya yang
ingin membuka warung sendiri. Tidak
semua pedagang bisa mendirikan lapak di sepanjang Jalan Jawa, karena mereka
harus mengajukan ijin terlebih dahulu pada Ketua Pedagang Kaki Lima. Ketua PKL berbeda tiap wilayahnya, untuk
wilayah kampus yang meliputi Jalan Karimata, Jalan Riau, Jalan Mastrip, Jalan
Kalimantan, dan Jalan Jawa, rupanya ijin pendirian berada di tangan seseorang yang
bekerja di salah satu perguruan tinggi swasta di Jember. Mereka juga memiliki paguyuban dan beberapa
kali mengadakan pertemuan untuk berbagi cerita dan kemudian dibekali modal
usaha oleh Ketua PKL tersebut. Sebagai
balas jasa, maka setiap bulan para PKL dibebani Rp10.000,- untuk membayar
seorang yang bertugas membersihkan limbah para PKL. Biaya yang relatif murah, untuk suatu ijin
usaha di tempat strategis dan selalu ramai pembeli.
Selama berpuluh tahun PKL mengadu nasib, mereka belum pernah sekalipun
mendapat perintah relokasi dari pemerintah daerah. Justru mereka memperoleh perlindungan dari
Satuan Polisi Pamong Praja ketika kisruh relokasi PKL di wilayah Pasar Tanjung
pada tahun 2014. Para mantan PKL di
Pasar Tanjung yang iri terhadap kelancaran usaha PKL di Jalan Jawa, menciptakan
teror premanisme dan ancaman penggusuran.
Setelah ketua paguyuban PKL wilayah kampus mengadu pada Satpol PP,
seketika ancaman itu sirna dan para PKL kembali berjualan dengan tenang hingga
saat ini.
Ancaman penggusuran juga pernah datang dari pihak Universitas Jember
(Unej). Awal tahun 2000, Unej merasa
terganggu dengan jajaran PKL yang dipandang mengurangi estetika dan merusak
citra perguruan tinggi. Pihak Unej juga
mengeluhkan hal ini kepada pemerintah daerah, agar pihak berwajib segera turun
tangan. Sempat gentar dengan pihak Unej,
namun dukungan mahasiswa saat itu kepada PKL sangat kuat, sehingga ancaman
tersebut kini menjadi cerita masa lalu. Seorang
PKL mengungkapkan bahwa tak dapat dipungkiri telah terjadi hubungan saling
membutuhkan antara PKL dengan mahasiswa.
Jika tidak, tentu para mahasiswa tidak akan turun tangan demi membela
para PKL.
Saat ini terdapat lebih dari 20 PKL di sepanjang Jalan Jawa, dan para PKL
tersebut seperti tak pernah tidur.
Setiap melintasi Jalan Jawa selalu saja ada kendaraan yang parkir di
muka lapak PKL dan menimati menu yang disajikan seraya lesehan. Ketika yang di trotoar asik berjualan sambil
melihat pelanggannya menikmati lalapan, disisi lain para pejalan kaki terpaksa
turun ke jalan karena hak menikmati trotoar sudah berpindah tangan. Berjalan hati-hati dan senantiasa berdoa agar
jangan sampai tersenggol kendaraan bermotor.
Selain itu, ketika kendaraan para pelanggan PKL berjajar di tepi jalan,
para pengguna jalan yang melintas harus rela hak menggunakan jalan rayanya
berkurang beberapa meter. Kemacetan tak
dapat dihindari, pun kelancaran berkendara tak dapat diraih.
Selain itu, para PKL meninggalkan bekas cipratan minyak di dinding
Universitas Jember, yang membuat dinding menjadi kusam dan terkesan kumuh. Belum lagi bekas bongkaran lapak berupa
bambu-bambu dan terpal, yang diletakkan di trotoar begitu mereka selesai
berdagang. Sebagai salah satu perguruan
tinggi bergengsi, mau tak mau Universitas Jember menjadi korban juga. Jika di lingkungan sekitar perguruan tinggi
seperti demikian, tentu akan mengurangi kesan keindahan pada lembaga pendidikan
setingkat pendidikan tinggi.
Dari berbagai cerita PKL di Jalan Jawa, terlihat keganjlan pada perijinan
pendiriannya, dan mungkin wilayah lain juga demikian. Dalam peraturan daerah, sudah jelas bahwa
pendirian PKL harus memiliki ijin yang jelas yang mana ijin tersebut seharusnya
disetujui oleh pemerintah daerah. Namun
sesuai dengan yang PKL ungkapkan, ijin hanya sebatas pada seseorang yang bahkan
tidak ada kaitannya dengan pemerintah daerah. Hal tersebut lantas memberikan
kesan bahwa terdapat kepentingan suatu kelompok dibalik esksistensi PKL selama
ini. Beberapa keluhan mengenai PKL sudah
pernah diajukan kepada pemerintah daerah, namun tetap saja tidak ada tindakan
lebih lanjut. Mereka justru turut
membela dan terkesan mempertahankan posisi para PKL tersebut.
Seperti yang diketahaui, rakyat telah membayar pajak demi kepentingan
pembangunan. Uang pajak yang berasal
dari rakyat tersebut, seharusnya kembali lagi pada rakyat untuk dinikmati
rakyat. Jalan raya beserta trotoar juga
termasuk dalam pembangunan, sehingga rakyat memiliki hak untuk menggunakan
fasilitas tersebut secara aman dan nyaman.
Rasa aman dan nyaman tersebut yang tidak ditemukan di trotoar Kabupaten
Jember, terutama di Jalan Jawa. Melihat
kenyataan tersebut, sungguh sebuah ironi mengingat semboyan Kabupaten Jember
adalah terbina, yang merupakan akronim dari tertib, bersih, aman dan nyaman.
Sudah waktunya pemerintah daerah memikirkan suatu
solusi untuk mentertibakan para PKL di Kabupaten Jember. Memusatkan PKL pada satu wilayah dengan
manajemen yang rapi, mungkin bisa diwujudkan asal pihak-pihak terkait dapat
bekerja sama dengan baik. Jika demikian, maka pengguna jalan dapat memperoleh
haknya kembali dan wajah kota lambat laun akan hilang dari kesan kumuh.
Permasalahan PKL di Indonesia selalu menjadi
dilema bagi pemerintah setempat. PKL
tidak bisa digusur begitu saja, karena kenyataanya kehadiran PKL turut
menggerakkan perekonomian di daerah tersebut.
Di sisi lain hak-hak pengguna jalan juga harus diperhatikan karena
mereka sudah berkontribsi dalam pembangunan.
Estetika kota juga harus diutamakan, karena wajah kota mencerminkan
karakter masyarakatnya.
Musisi kondang Iwan Fals bahkan sampai mengistilahkan pedagang kaki lima
dengan istilah “bunga trotoar” dalam satu lagunya. Seperti bunga yang tumbuh liar, pun PKL juga demikian. Hanya saja bunga memberikan keindahan bagi
siapapun yang memandang, sedangkan PKL tidak bisa menjadi seperti bunga yang
sedap dipandang.
Triana Novitasari
Bagikan
4/
5
Oleh
Unknown