Minggu, 29 November 2015

Bunga Trotoar yang Tak Menjadi Bunga

Setiap yang bernyawa memerlukan usaha untuk dapat mempertahankan hidupnya.  Termasuk manusia, apa saja akan dilakukan asalkan itu dapat menghasilkan uang.  Namun manusia seringkali lupa bahwa kegiatan itu mereka lakukan di suatu negara yang memiliki hukum di dalamnya.  Maka banyak dijumpai beberapa pekerjaan yang sebenarnya tidak sesuai dengan perundangan yang ditetapkan.  Salah satu yang banyak dijumpai di Indonesia yakni adanya Pedagang Kaki Lima (PKL), yang menjalankan usaha di bahu jalan atau trotoar.
Kabupaten Jember merupakan salah satu region di Indonesia dengan perkembangan jumlah PKL yang pesat.  Seperti yang nampak di sepanjang trotoar Jalan Jawa, jajaran PKL seperti tak ada putusnya.  Meskipun pelanggan, yang kebanyakan adalah mahasiswa, juga mengonsumsi produk dari para PKL tersebut namun mereka tetap merasa bahwa kehadiran PKL bertentangan dengan ketertiban.  Keberadaan PKL dipandang merusak keindahan kota serta menimbulkan gangguan lain seperti kebersihan lingkungan, kelancaran lalu lintas dan kenyamanan pejalan kaki. Menyikapi hal tersebut, maka Pemerintah Daerah Kabupaten Jember mengeluarkan peraturan daerah Nomor 6 Tahun 2008 tentang Pedagang Kaki Lima.  Dalam peraturan tersebut disebutkan bahwa setiap PKL yang melakukan kegiatan usaha wajib memiliki izin lokasi, memperhatikan ketertiban, keamanan, kenyamanan dan kebersihan di lingkungan sekitarnya. 
Keberadaan PKL di Jalan Jawa sudah tak terelakkan lagi perkembangannya.  Seperti efek domino yang ketika satu domino rubuh maka akan merubuhkan domino lainnya,  PKL juga demikan.  Melihat satu PKL membuka lapak di satu bagian trotoar Jalan Jawa, akan mendorong calon PKL lain untuk mengadu nasib di tempat tersebut.  Sebagai lokasi yang berada wilayah kampus, Jalan Jawa dipandang sangat potensial untuk membuka usaha, terutama usaha kuliner.  Letaknya yang berada di luar gerbang selatan Universitas Jember, sangat mudah dijangkau oleh mahasiswa yang ingin mendapatkan lauk murah nan memenuhi selera. 
Tidak ada yang tahu pasti siapa yang mempelopori tumbuhnya PKL di Jalan Jawa.  Menurut kesaksian salah seorang PKL, ia sudah berada disana sejak 14 tahun yang lalu.  Hal ini menunjukkan bahwa keberadaan PKL di Jalan Jawa sudah ada sejak abad 20.  Ibu tiga anak tersebut mengaku mendapat kesempatan membuka lapak disana karena menggantikan tetangganya yang ingin membuka warung sendiri.  Tidak semua pedagang bisa mendirikan lapak di sepanjang Jalan Jawa, karena mereka harus mengajukan ijin terlebih dahulu pada Ketua Pedagang Kaki Lima.  Ketua PKL berbeda tiap wilayahnya, untuk wilayah kampus yang meliputi Jalan Karimata, Jalan Riau, Jalan Mastrip, Jalan Kalimantan, dan Jalan Jawa, rupanya ijin pendirian berada di tangan seseorang yang bekerja di salah satu perguruan tinggi swasta di Jember.  Mereka juga memiliki paguyuban dan beberapa kali mengadakan pertemuan untuk berbagi cerita dan kemudian dibekali modal usaha oleh Ketua PKL tersebut.  Sebagai balas jasa, maka setiap bulan para PKL dibebani Rp10.000,- untuk membayar seorang yang bertugas membersihkan limbah para PKL.  Biaya yang relatif murah, untuk suatu ijin usaha di tempat strategis dan selalu ramai pembeli.        
Selama berpuluh tahun PKL mengadu nasib, mereka belum pernah sekalipun mendapat perintah relokasi dari pemerintah daerah.  Justru mereka memperoleh perlindungan dari Satuan Polisi Pamong Praja ketika kisruh relokasi PKL di wilayah Pasar Tanjung pada tahun 2014.  Para mantan PKL di Pasar Tanjung yang iri terhadap kelancaran usaha PKL di Jalan Jawa, menciptakan teror premanisme dan ancaman penggusuran.  Setelah ketua paguyuban PKL wilayah kampus mengadu pada Satpol PP, seketika ancaman itu sirna dan para PKL kembali berjualan dengan tenang hingga saat ini.
Ancaman penggusuran juga pernah datang dari pihak Universitas Jember (Unej).  Awal tahun 2000, Unej merasa terganggu dengan jajaran PKL yang dipandang mengurangi estetika dan merusak citra perguruan tinggi.  Pihak Unej juga mengeluhkan hal ini kepada pemerintah daerah, agar pihak berwajib segera turun tangan.  Sempat gentar dengan pihak Unej, namun dukungan mahasiswa saat itu kepada PKL sangat kuat, sehingga ancaman tersebut kini menjadi cerita masa lalu.  Seorang PKL mengungkapkan bahwa tak dapat dipungkiri telah terjadi hubungan saling membutuhkan antara PKL dengan mahasiswa.  Jika tidak, tentu para mahasiswa tidak akan turun tangan demi membela para PKL.   
Saat ini terdapat lebih dari 20 PKL di sepanjang Jalan Jawa, dan para PKL tersebut seperti tak pernah tidur.  Setiap melintasi Jalan Jawa selalu saja ada kendaraan yang parkir di muka lapak PKL dan menimati menu yang disajikan seraya lesehan.  Ketika yang di trotoar asik berjualan sambil melihat pelanggannya menikmati lalapan, disisi lain para pejalan kaki terpaksa turun ke jalan karena hak menikmati trotoar sudah berpindah tangan.  Berjalan hati-hati dan senantiasa berdoa agar jangan sampai tersenggol kendaraan bermotor.  Selain itu, ketika kendaraan para pelanggan PKL berjajar di tepi jalan, para pengguna jalan yang melintas harus rela hak menggunakan jalan rayanya berkurang beberapa meter.  Kemacetan tak dapat dihindari, pun kelancaran berkendara tak dapat diraih. 
Selain itu, para PKL meninggalkan bekas cipratan minyak di dinding Universitas Jember, yang membuat dinding menjadi kusam dan terkesan kumuh.  Belum lagi bekas bongkaran lapak berupa bambu-bambu dan terpal, yang diletakkan di trotoar begitu mereka selesai berdagang.  Sebagai salah satu perguruan tinggi bergengsi, mau tak mau Universitas Jember menjadi korban juga.  Jika di lingkungan sekitar perguruan tinggi seperti demikian, tentu akan mengurangi kesan keindahan pada lembaga pendidikan setingkat pendidikan tinggi. 
Dari berbagai cerita PKL di Jalan Jawa, terlihat keganjlan pada perijinan pendiriannya, dan mungkin wilayah lain juga demikian.  Dalam peraturan daerah, sudah jelas bahwa pendirian PKL harus memiliki ijin yang jelas yang mana ijin tersebut seharusnya disetujui oleh pemerintah daerah.  Namun sesuai dengan yang PKL ungkapkan, ijin hanya sebatas pada seseorang yang bahkan tidak ada kaitannya dengan pemerintah daerah. Hal tersebut lantas memberikan kesan bahwa terdapat kepentingan suatu kelompok dibalik esksistensi PKL selama ini.  Beberapa keluhan mengenai PKL sudah pernah diajukan kepada pemerintah daerah, namun tetap saja tidak ada tindakan lebih lanjut.  Mereka justru turut membela dan terkesan mempertahankan posisi para PKL tersebut.     
Seperti yang diketahaui, rakyat telah membayar pajak demi kepentingan pembangunan.  Uang pajak yang berasal dari rakyat tersebut, seharusnya kembali lagi pada rakyat untuk dinikmati rakyat.  Jalan raya beserta trotoar juga termasuk dalam pembangunan, sehingga rakyat memiliki hak untuk menggunakan fasilitas tersebut secara aman dan nyaman.  Rasa aman dan nyaman tersebut yang tidak ditemukan di trotoar Kabupaten Jember, terutama di Jalan Jawa.  Melihat kenyataan tersebut, sungguh sebuah ironi mengingat semboyan Kabupaten Jember adalah terbina, yang merupakan akronim dari tertib, bersih, aman dan nyaman.   
Sudah waktunya pemerintah daerah memikirkan suatu solusi untuk mentertibakan para PKL di Kabupaten Jember.  Memusatkan PKL pada satu wilayah dengan manajemen yang rapi, mungkin bisa diwujudkan asal pihak-pihak terkait dapat bekerja sama dengan baik. Jika demikian, maka pengguna jalan dapat memperoleh haknya kembali dan wajah kota lambat laun akan hilang dari kesan kumuh.
Permasalahan PKL di Indonesia selalu menjadi dilema bagi pemerintah setempat.  PKL tidak bisa digusur begitu saja, karena kenyataanya kehadiran PKL turut menggerakkan perekonomian di daerah tersebut.  Di sisi lain hak-hak pengguna jalan juga harus diperhatikan karena mereka sudah berkontribsi dalam pembangunan.  Estetika kota juga harus diutamakan, karena wajah kota mencerminkan karakter masyarakatnya.          
Musisi kondang Iwan Fals bahkan sampai mengistilahkan pedagang kaki lima dengan istilah “bunga trotoar” dalam satu lagunya.  Seperti bunga yang tumbuh liar, pun PKL juga demikian.  Hanya saja bunga memberikan keindahan bagi siapapun yang memandang, sedangkan PKL tidak bisa menjadi seperti bunga yang sedap dipandang.


Triana Novitasari

Bagikan

Jangan lewatkan

4/ 5
Oleh

Subscribe via email

Suka dengan artikel di atas? Tambahkan email Anda untuk berlangganan.