Raka
sedang merapikan tali sepatunya di ruang seni sekolah. Ia baru saja berlatih
bersama personil band nya untuk persiapan acara Pensi minggu depan.
“Bro,
kita duluan ya. Loe beneran gak jadi ikut kan hang out bareng?” Seru
Alga si vokalis band nya.
Raka
mendongakkan kepalanya. “Iya bro, gue masih ada acara keluarga dirumah bentar
lagi. Sorry, kalo gue gak bisa ikut sekarang.”
“Siip,
oke dah. Salam sama adek lo yang manis itu. Hehe.” Balas Alga diiringi siulan
para personil band D’finalist.
“Haha.
Bisa aja lu bro. Oke dah.”
Mungkin
kau bertanya-tanya
Arti
perhatianku terhadapmu
Pasti
kau menerka-nerka
Apa
yang tersirat dalam benakku
Suara indah dari
Naga, vokalis grup band Lyla membuat Raka meraih ponselnya. Dilihatnya sebuah
nomor baru tertera dilayar ponsel. Tanpa membuang waktu ia menekan tombol hijau.
“Sob.”
Sebuah sapaan ringan dari seberang telfon yang ia hafal.
Raka
mengerutkan kening. “Iya, ini siapa?”
Sunyi
sejenak. Tiada jawaban dari seberang. Membuat Raka menjadi penasaran.
“Halo.”
Tukasnya lagi. “Ini Indi tah?” Raka berusaha menebak.
Pertanyaan
itu mengena. Terdengar sahutan dari seberang telfon. “Iya sob, ini aku Indi.
Gimana punya kabar?”
Hilang
sudah rasa penasaran Raka. Namun benaknya kembali berputar. Sudah lama Indi
tidak menghubunginya. Sang mantan yang kini telah menjadi sahabatnya. Sang
mantan yang sebenarnya selalu ia rindukan untuk dapat kembali bersama. Ada apa
gerangankah saat ini sehingga Indi menghubunginya lagi. Apakah karena
desas-desus yang didengarnya tentang pacar Indi yang ketahuan selingkuh
kemarin. Entah Raka tak tahu.
“Sob,
kamu kok diem?” Suara Indi lagi, menyadarkan Raka.
Raka
terbangun dari lamunannya. “Eh, iya. Syukurlah aku baik-baik aja. Kok tumben
kamu ngehubungin aku?” Singakat Raka menjawab.
“Emh,
yah, gak ada. Cuma pengen ngehubungin kamu aja. Lagian udah lama aku gak pernah
ngomong sama kamu lagi.”
Raka
mengangguk-angguk. “Oh gitu, kirain ada apa.”
“Iya,
oh ya, aku udah baca cerpen kamu di mading sekolah kemarin yang judulnya Lara Raka. Hmz, semua cerpen kamu
yang dimuat bagus-bagus Ka.” Ucap Indi membuka topik.
Lara
Raka? Cerpen itu kan....
Raka
teringat akan cerpen yang dibuatnya. “Oalah, enggak kok Indi, cerpen nya aku
biasa-biasa aja. Oh iya, kalo boleh bilang. Tentang cerpen yang Lara Raka, itu……. itu kisah tentang kita Indi. Tentang aku, kamu,
dan dia. Maafin aku ya kalo sekiranya kamu tersinggung”
Suasana
hening sejenak. Seperti balok es yang
mencair perlahan. Indi tak menyangka bila Raka mengungkakan tentang itu. “Tanpa
kamu bilang aku sudah merasakan sob. Waktu aku baca cerpen kamu, aku langsung
kaget. Kok kayak yang pernah aku alamin. Hmz. Enggak kok gak pa-pa. Aku gak
tersinggung.”
Raka
menghembuskan nafas lega. “Syukurlah kalo kamu gak tersinggung. Aku takutnya
kamu marah gara-gara udah bikin cerpen tentang kisah kita.”
“Tapi,
aku pengen tau Ka alasan kamu kenapa kamu buat cerpen itu?”
Raka
terkaget tak menduga bila Indi akan menanyakan alasannya. “Hah, alasan aku buat
cerpen itu, ya supaya kamu inget aja sama kisah kita.”
“Iya
ngerti, tapi buat apa kamu harus ngingetin aku? Bukannya itu udah lama banget?”
Tanya Indi lagi.
Pertanyaan
Indi lagi-lagi membuat fikiran Raka berkecamuk. Detak jantungnya meningkat
tajam. Raka terdiam, ia berusaha
menjawab meski banyak sekali beban fikiran yang terkumpul di benaknya. “Jujur, Alasan
aku itu cuma pengen ngingetin kamu lagi tentang kisah kita. And itu karena aku
masih selalu berharap sama kamu lagi Indi. Meskipun aku sangat-sangat tau kalo
kamu udah sama dia.”
Saat
itu pula Indi mendesah. Kini giliran Indi yang tak menyangka bila Raka masih
selalu menyimpan rapi perasaannya selama ini. Tiba-tiba ia bertanya lirih. “Apa
yang kamu lihat dari aku Ka? And apa yang kamu pengenin dari aku?”
Raka
mengepalkan tangannya. Mengumpulkan segenap kekuatannya untuk mengungkap segala
hal tentang Indi yang menyiksa. “Aku gak tau Indi, bagi aku kamu sempurna. Kalo
kamu mau tau apa yang aku pengen dari kamu. Aku cuma pengen mencintai dan
dicintai kamu. Sampai kita lupa, sampai kita lupa buat berpisah Indi. Gak
seperti dulu saat kamu pergi dari aku!”
Indi
menggelengkan kepala. “Aku udah sama dia Raka. Aku tau kalo perasaan kamu besar
banget buat aku. Tapi sampai kapan kamu mau nungguin aku? Apa kamu gak capek?
Apa kamu kuat?” Cecar Indi lagi.
“Huft.”
Raka menghela nafas. “Aku terlalu tulus menyayangi kamu Indi. And itu yang
bikin perasaan aku gak pernah mati buat kamu,
meskipun kamu udah pergi dari aku. Selama ini aku cuma terbiasa. Aku cuma terbiasa
hidup tanpa kamu disisi!”
Detik
membeku kembali, seperti melebarkan jarak waktu dalam ilusi, selepas Raka
mengungkapkan semua beban dalam hatinya. Indi pun tak mampu berkata apa-apa
lagi. Hati kecilnya berkata bila apa yang dikatakan Raka jujur apa adanya.
Maafin aku Ka.... maaf kalo aku gak bisa
lagi ngebales perasaan kamu saat ini...
Indi
berusaha mengelak. “Hmz, Ya udah, kita bahas lagi nanti. Aku udahin dulu
telfonnya.”
Klik.
Tombol merah dipencet sudah. Tanpa bisa Raka cegah. Kini, ditempat yang berbeda
mereka sama-sama menghela nafas panjang memikirkan sesuatu terpendam yang baru
saja terungkap.
23
Mei, 2015.
Sabtu
malam minggu itu acara Pensi digelar. Indi datang bersama kekasihnya, Ayas.
Mereka tiba saat D’finalist band baru saja
selesai menyanyikan lagu pertama dari Hoobastank, The Reason. Ayas pun mengajak
Indi untuk menari bersama di depan pentas.
Saat
di depan pentas, Indi melihat
Raka yang tengah mendekati Alga sang vokalis. Entah apa yang Raka bisikkan,
sehingga membuat Alga mengangguk dan kemudian mundur kebelakang menggantikan
posisi Raka sebagai gitaris.
Raka
membenarkan posisi mikrofonnya. Kemudian ia berseru. “Malam ini saya ingin
mendedikasikan sebuah lagu untuk seseorang yang sangat penting dalam kehidupan
saya. Sehingga ia mampu membuat saya menahan rasa malu untuk bisa berdiri
disini. Jadi saya ingin mengucapkan terima kasih yang sebenar-benarnya.”
Tepuk
tangan dan seru-seruan dari para penonton menyambut sambutan Raka. “Mulai,
nyanyi, nyanyi nyanyi!”
Raka
memejamkan mata. Menghembuskan nafas dalam-dalam kemudian memulai lagunya.
Aku sudah berlari,,
Mengejar yang tak pasti,,
Mengejar kamu, hanya
dirimu,,
Lagu
dari Nidji, Biarlah yang diiringi
oleh musik yang sedikit menghentak membuat para penonton tak menyadari bila itu
adalah sebuah lagu sedih. Saat itu Ayas
mengajak Indi untuk menari. Namun Indi tidak bergeming. Ia hanya menatap Raka
yang sedang bernyanyi sehingga Ayas pun membiarkannya.
Kulantunkan hidupku,,
Kubisikkan cintaku,,
Hanya untukmu, hanya
untukmu,,
Tiba-tiba
Indi bergerak kedepan mencoba menyeruak kerumunan penonton. Entah kekuatan apa
yang merasuki Indi saat itu. Dan saat itu pula Raka menatap Indi yang telah
sampai di depan pentas. Indi mendongakkan kepala mencari sosok Raka. Membuat
mereka berdua saling bertatapan.
Tapi engkau terus pergi,,
Tapi engkau terus berlari..
Jadi biarkanlah aku disini...
Biarlah kurela melepasmu,
meninggalkan aku,,
Berikanlah aku kekuatan,
untuk lupakanmu...
Raka
masih terus menatap Indi sembari
bernyanyi tanpa merasa jengah.
“Aku nyanyiin lagu ini
buat kamu Indi. Biar kamu tau kalo jalan ini yang aku pilih setelah aku
berfikir sejenak. And aku gak pengen ngeganggu hubungan kalian. Makasih udah
hadir saat ini. Saat dimana aku bisa menyiratkan kata hati aku ini buat kamu....”
Disaat
itu juga. Seperti mendengar kata hati Raka. Indi bergumam.
“Kalo emang ini keputusan kamu Ka. Makasih
banget. Makasih udah mencintai aku selama ini. Tapi yang paling harus kamu tau.
Kalo aku gak pernah sedikitpun pengen ngebuat kamu terluka gara-gara aku.”
Kau jauh dariku,,
Kau tetap menjauh dari aku......
The End
By: Ilham Diazz Randiall